HUTAN BULAN OKTOBER
Hutan
itu basah. Awan tampak sejengkal di atas kepala. Berjalan di antara
kabut tipis, serasa memberi nuansa yang berbeda. Tentu saja. Ini bukan Jakarta yang panas dan berdebu. Dan di antara pendakian puncak hutan dan tepi sungai, Jeanette masih saja antusias mengagumi setiap jengkal hutan yang kami susuri.
Hutan
di bulan Oktober. Masanya meranti kuning berbuah. Beragam burung
hinggap, lalu terbang ketika kaki Jeanette yang ramping menginjak
ranggas. Ada Dicrurus Sumatranus[1] yang melonjak di sela dahan.
“Indah, Kal,” cetusnya berkali-kali, sambil memetik daun Geleicheria Lineosis[2].
Dan hanya sekali kutanggapi. Selebihnya aku pun ikut tergugah pada
kesegaran hutan ini. Betapa tidak, beberapa spesies anggrek yang dulu
hanya angan-angan di pelajaran Biologi, sekarang tinggal dipetik. Kalau
saja bisa pulang hari ini, sudah segera kujejali ransel dengan berbagai
spesies tumbuhan langka ini, begitu kata Jeanette.
“Aku
tak heran kau memilih tinggal di sini,” cetusnya. Ketika aku
menatapnya, ia lalu melanjutkan, “Kukira dulu aneh, laki-laki sepertimu,
pintar, akademisi, punya kehidupan yang prestius, lalu begitu saja
memilih pulang.”
“Banyak yang tidak bisa dijelaskan dalam hidup kita,” kataku sambil memotret paku sarang burung yang menempel di batang meranti.
“Tentu saja. Juga ketika aku tertarik padamu dulu. Coba, apa yang menarik padamu sampai aku meninggalkan Joe! Tapi benar kata Vivian. Eh, kau masih ingat dia kan?”
Aku mengangguk saja.
“Entah
bagaimana hidupnya sekarang. Ayolah, Kal! Kamu tahu? Ia bilang, daya
tarik tak sepenuhnya bisa diterangkan, ia hanya bisa ditumbuhkan. Coba,
mana ada sih yang tidak ditumbuhkan! Bahkan iman juga ditumbuhkan. Kalau tidak, bagaimana kita bisa menerima takdir, masa lalu, juga diri kita. Ya, kan?”
Ia lalu merampas kamera di tanganku, lalu memotret burung Lophura Inomata[3] yang bertengger di ujung ranggas.
“Kamu tahu, Kal? Sudah satu abad spesies ini tidak temukan.” Ia lalu bercerita beberapa ekspedisi yang dilakukannya di Afrika
bersama tim Universitas Sarbone, sebulan setelah aku meninggalkan
kampus. Tak banyak yang bisa kutanggapi. Sudah bertahun-tahun aku tak
membaca.
“Aku terlalu banyak bicara, ya,” sapanya.
Ia kupandang sekilas.
“Kalau kita tak banyak bicara, bagaimana orang akan mengenal kita.”
Sekelompok
burung punai melintas. Selalu bergerombol. Bulunya hijau keperakan.
Tampak berkilau di bawah cahaya matahari yang menerobos sela-sela
ranting.
“Kau
tahu, Kal? Vivian juga pernah bilang suka padamu.” Ia melirikku. Aku
tak bergeming. “Tapi kubilang bahwa kau bukan pasangan yang tepat untuk
diajak berjemur di pantai.”
“Tentu saja. Kami lebih cocok di simpan di kulkas.”
“Kal, aku bilang kau lebih suka hutan, karena itu kau di sini. Ya, kan? Dan Vivian tidak akan betah jauh-jauh dari bak mandi. Apalagi berhadapan dengan reptil, pacet, mungkin juga Naemorhedus Sumatrensis[4].”
“Tiap orang diciptakan berbeda.”
“Tidak semua kukira. Coba, aku sama sepertimu. Suka hutan, suka alam, suka padamu! Kau saja yang belum suka aku.”
Dan
ia tertawa. Sambil menyeberang titian dari bambu, ia bercerita
bagaimana aku leyap dari Universitas Sarbon, bagaimana ia menghabiskan
hari-hari sepinya di taman Champs-Elysees, merenung di tepi Seine, dan
bagaimana ia memutuskan berhenti memikirkanku ketika tak
sebaris kalimat pun kukirim, dan tentu juga bagaimana ia akhirnya
menikah dengan David yang bertemu dengannya di biro jodoh.
“Aku
kira hidupmu senang,” tukasku ketika Jeanette duduk di atas batu di
tepi kali, kakinya dicelupkan di air. Wajahnya tampak muram, ekspresif
seperti lukisan.
“Tentu
saja aku senang. David sepenuhnya sesuai dengan kriteria yang
kutetapkan: tidak merokok, suka anak-anak, tidak akan membawa kucing ke
rumah, pintar mengocok cocktail, dan sudah menanggalkan piyama sebelum
jam enam.”
Aku tertegun. Angin melintas menerbangkan bunga-bunga. Ada bau harum yang mistis. Sementara itu, ia membersihkan guguran bunga meranti yang mengotori rambutku.[5]
Air beriak di antara batu berlumut, jernih. Tampak beberapa ikan kecil
melintas di sela jari kakinya. Waktu kanak-kanak dulu, aku sering
menangkapinya sambil mandi-mandi.
“Kal,
kamu tahu apa yang David tidak punya?” Ketika aku tak bergeming, ia
menambahkan, “Ia tak mampu memberiku greget, sesuatu yang membuat kita
ingin terus hidup.”
Kali ini aku tertawa. Greget! Kukira apa!
“Coba,
bagaimana kita hidup tanpa greget!” Jeanette mengambil batu, lalu
melayangkannya di atas air, menimbulkan bunyi yang gaduh.
Lalu
kukatakan bahwa setiap jengkal dari hutan ini adalah greget. Hutan tak
pernah membosankan, karena di hutan kehidupan tak perlu berpola.
Meskipun hutan penuh dengan pertanda, tetapi tidak ada pertanda yang
dapat didramatisir seperti biota manusia.
“Karena
itu aku menyusulmu ke sini,” cetusnya. “Kukira Indonesia bukan cuma
negeri yang tabah, tapi juga negeri yang penuh greget.”
* * *
Pagi
masih berkabut. Anak-anak lewat di depan dangau, berangkat mandi ke
sungai. Beberapa berkejaran. Perempuan-perempuan membawa cucian. Tegur
sapa dan canda ditoreh di antara suara-suara pagi. Juga suara-suara
burung, kokok ayam, lenguh sapi digiring ke padang rumput di kaki bukit,
dan tangis bayi yang dimandikan di pancuran.
Aku
mengumpulkan ranting kayu, sibuk memanaskan air di tungku. Pagi
berkabut begini paling nikmat kalau dibubuhi kopi. Beberapa yang lewat
memberi salam. Beberapa kali harus kujawab dengan santun dan akrab.
Tentu sambil mengundang singgah untuk minum kopi bersama. Jawabannya
nyaris terpola, para lelaki harus segera ke ladang dan
perempuan-perempuan sudah ditunggu suaminya makan pagi.
Icha,
adik perempuanku, muncul. Ia ceritakan bagaimana Jeanette tampak tidak
tidur semalam, karena kedinginan. Tentu saja. Di dukuh ini, mana ada
kasur, apalagi tungku pemanas. Untuk tidur orang cukup menggelar tikar
pandan, mematikan lampu teplok, menarik selimut, dan tidur dengan mimpi
yang macam-macam.
Subuh
mereka bangun. Laki-laki langsung ke kedai kopi selesai sholat, makan
ketan, dan berbagi siasat bagaimana mengolah ladang. Dan sebelum
anak-anak bangun, mereka sudah berangkat bekerja. Sebagian menyadap aren
untuk dibuat gula merah.
Sehabis
memasak dan memberi makan anak-anak, para wanita bekerja di sawah.
Sawah memang hanya menjadi usaha sambilan, karena hasil panen tidak
pernah cukup untuk biaya hidup. Tetapi tiap keluarga tetap mengerjakan
sawah, karena sawah dihormati sebagai bagian dari leluhur. Katanya, para
tamu akan merasa nyaman kalau opuk[6]
masih terisi gabah. Karena itu, beberapa keluarga membangun opuk di
sisi rumah mereka. Selain sebagai tempat penyimpanan gabah, juga
digunakan anak-anak muda untuk martandang.[7]
Sambil
mandi atau mencuci, pancuran menjadi tempat bersosialisasi. Berbagai
kejadian dan persoalan menyebar di sana. Ibu-ibu membicarakan sawah,
harga-harga yang naik, anak-anak, dan suami-suami mereka. Anak
gadis—sambil cekikikan—membicarakan para lelaki yang datang markusip[8].
Anak-anak berbicara tentang guru-guru mereka, tempat-tempat memancing,
dan tentu juga mimpi anak-anak mereka. Ah, ya, para suami sudah tentu
mengkultuskan kejantanan mereka, beberapa ramuan penggugah gairah, dan
harga pupuk yang terus melambung.
Jeanette ngotot mandi di pancuran. Dan sudah kuduga, begitu pulang ia langsung bercerita bagaimana kampung ini hidup dengan sangat bersahaja dan akrab—sesuatu yang belum pernah ditemukannya di belahan bumi manapun.
“Luar biasa, Kal,” katanya sambil bersandar di tiang dangau. “Pancuran lebih ramai dibandingkan pasar tradisional Eropah.”
“Itu
berlebihan namanya.” Gula dan kopi kucampur, diseduh dengan air panas.
Ada aroma segar bercampur dengan bau pagi, tanah dan hutan. Ketika
kusuguhkan pada Jeanette, ia beberapa kali berterima kasih.
“Gurih,” pujinya. “Aku bisa pahami, mengapa Belanda membuka perkebunan kopi di Pakantan ini.”
“Karena kopi tidak tumbuh di Eropah.”
“Kal,
ekosistem tidak bisa di rekayasa. Semua harus tumbuh di tempat yang
pas. Juga cinta. Suamiku, David, sudah kubilang kan? Ia sempurna! Tapi
cinta tidak hanya melulu tumbuh di tempat yang sempurna. Ya, kan?
Ayolah, Kal! Kau selalu pelit memberi komentar.”
“Bukan pelit, Jeanette. Kau yang bilang aku pendiam.”
“Aku tidak percaya. Pendiam hanya soal kemampuan memperpendek jarak.”
“Ya, sudah. Anggap saja jaraknya jauh.”
“Kal!”
“Ya.”
“Aku suka tinggal lama di sini. Boleh kan, Kal?” Ia melirikku tanpa mengangkat wajah.
“Tentu
saja. Sepanjang tetap penting untuk bahan risetmu.” Ia memang datang ke
sini untuk riset penulisan bukunya. Katanya, ia tertarik pada beberapa
spesies langka di Sumatera. Terutama di sekitar Sungai Batang Gadis,
Mandailing Natal.
“Kal.”
“Ya.”
“Kalau saja aku sempat bertemu dengan almarhum istrimu.”
Matanya kutatap sekilas, lalu pada kabut di kaki bukit.
“Maaf, tapi kukira ia beruntung sempat bersamamu.”
Kayu
bakar di tungku kutambah, asap membubul di sekitar. Jeanette
terbatuk-batuk. Aku menariknya duduk di bangku bambu, di bawah pokok
rambutan.
“Kalau saja aku tahu, aku pasti datang.” Jeanette melanjutkan, “Tapi kau lenyap begitu saja. Bahkan tanpa pamit.”
“Beasiswaku dicabut. Kamu tahu, ada pergantian rezim politik di tahun itu.”
“Kal, kamu tahu, kita semua bisa membantumu memperoleh beasiswa baru. Harian Paris Tribune bahkan sejak dulu menawarimu beasiswa. Kau saja yang tak mau.”
“Bukan begitu, Jeanette. Kamu tahu, aku tak mungkin tinggal di Prancis.”
“Karena Farida, ya, istrimu!”
“Anak lelaki disiapkan untuk melanjutkan budaya tradisional kami. Dan kau tahu, aku selalu tak betah tinggal di Eropah.”
Jenette diam. Sepi di luar. Sepi menekan-mendesak. Lurus kaku pohonan. Tak bergerak. Sampai ke puncak, sepi memagut.[9]
“Aku
kira, aku paham sekarang,” gumamnya melegakanku. Dan sambil menyeruput
kopi, ia melanjutkan, “Eh, aku ingat! Kau pernah bilang ingin tinggal di
kaki bukit, lalu menulis novel dan menghabiskan hari tua. Kukira itu
indah, Kal. Ayo lah, mana novelmu! Dulu kau janji, akan menulis novel
tentang aku.”
“Belum kutulis.”
“Empat tahun kau meninggalkan kampus, tak ada satu novel pun?”
“Mengapa harus ada.”
“Tentu saja! Karena kau ingin menulis novel. Beberapa kali kau mengatakan itu. Jangan bilang kau tak ingat.”
Tentu saja kuingat. Di bangku sebuah taman kota, rerumputan tepi Sungai Sein, dan di bawah malam ketika angin sesekali melintas.
Kopi kuseruput lagi. Bau pagi masih juga lengket di hidung. Di dalam kandang, ayam dan bebek berebut keluar.
* * *
Ibu
duduk, bersandar di dinding. Tampak tua dan napasnya jarang. Masih
memandang ke luar jendela, ia batuk-batuk beberapa kali. Aku buru-buru
memanggil Icha, menyuruhnya mengambilkan air putih. Jeanette melintas.
Langkahnya yang kuat menambah bunyi derak pondok yang tua. Mata ibu
nyaris tak berkedip memandang ke arah Jeanette.
“Kau suka anak itu, Kal?”
“Suka bagaimana maksud Ibu?”
“Suka bagaimana lagi? Memangnya ada suka yang lain?”
Aku terhenyak.
“Ia teman kuliahku, Bu, dulu waktu di Sarbone.”
“Ah, aku tak tanya kuliahmu. Aku tanya anak perempuan itu.”
“Ia sudah punya anak, Bu.”
“Kau juga punya anak. Tak kutanya anaknya.”
“Jeanette ke sini untuk riset.”
“Mau riset atau apa, itu cuma bahasa saja. Memudahkan pengertian kata ayahmu dulu. Yang kutanya, kau suka atau tidak.”
“Ya, suka bagaimana maksud Ibu?”
“Bah, kau bodoh pula rupanya seperti Mamakmu.[10] Kalau suka, ya kawini saja. Biarpun Belanda tak apa-apa.”
“Bukan Belanda, Bu. Prancis.”
“Ah
sama saja, cuma soal huruf. Anakmu si Saroh, kapan lagi kau kasih ibu.
Kau lihatlah, Ibumu ini pun sudah tua, mau mati. Adikmu si Icha, memasak
saja tak pandai dia. Siapa yang mengurusi kau nanti.”
Sekali lagi aku tersedak. Kukira sama dengan Ayah, Ibu selalu apa adanya.
“Bu,” cetusku pelan. “Kawin bagi orang Eropah tidak seperti membeli bebek.”
“Tak
tahu aku Eropah. Memangnya berapa banyak jenis manusia. Tanya saja dia,
jangan sangkut-pautkan dengan Eropah.” Lalu sambil melambai ke arah
Jeanette, ibu berseru, “Kau ke sini dulu. Ada yang mau kubilang.”
Jeanette
datang agak bingung. Kukira ia paham, ada 700 lebih bahasa non-verbal.
Belum sempat duduk, Ibu langsung mengatakan, “Kau, kawinlah dengan Kal.
Jangan berlama-lama. Oktober bulan yang paling sesuai untuk memulai
pernikahan. Karena beberapa tumbuhan juga mulai berbunga di bulan ini.”
Tentu
saja Jeanette bingung. Ia menatapku. Aku tak bisa bohong. Kujelaskan
maksud Ibu, kebiasaannya berterus-terang, dan ketakpahamannya pada
berbagai pengelompokan ras, benua, agama, dan lain-lain. Dan jawaban
Jeanette sungguh melegakanku.
“Pada awalnya dunia ini diciptakan setara, Kal! Sejarah saja yang membuat kita berbeda.”
Aku tergugu, lalu tertawa. Jeanette juga. Ibu sibuk mengunyah sirih.
* * *
Di
puncak bukit, Jeanette memperhatikan biota hutan. Ia menyebut beberapa
jenis tumbuhan liar, beberapa nama Latin, memujinya, dan sesekali
memperlihatkan wajah yang tampak sangat gembira.
“Kamu tahu, Kal? Spesies ini bahkan belum ada namanya.” Ia menunjuk tumbuhan berbunga merah, rapat, dan sempit.
Aku
memilih duduk bersandar di bawah pohon. Akar-akar meranti yang besar
terasa nyaman mengundang kantuk. Jeanette sibuk menulis dan memotret,
dan aku baru saja membantunya mengidentifikasi beberapa sampel air dan
tanah. Cahaya matahari mengitari sisi bukit, membekaskan gradasi terang
yang lembut pada kontur tanah di bawah kanopi[11].
Ah,
aku jadi ingat dengan almarhum istriku. Cahaya itu ternyata
berwarna-warna, katanya suatu hari, ketika melihat cahaya matahari melewati
celah pohon. Ia meletakkan tangannya di bahuku, dan aku membantunya
melewati celah hutan yang sempit, membimbingnya menangkap berkas cahaya.
Dan kemudian angin menjerit ketika ia menyandarkan kepalanya di dadaku.
Seperti
langit yang membubung, siapakah yang bisa menyayatnya. Juga kematian,
siapa yang bisa menundanya. Begitulah dulu istriku menutup usianya di
suatu subuh bergerimis dan gamis. Anak kami, Halimah, ketika itu masih
tertidur, dan aku—sejak itu—terpuruk dalam sunyi hingga bertahun-tahun
lamanya.
Takdir
apa yang bisa dicegah, begitu nasehat Ibu waktu itu. Aku mengangguk.
Juga menangis. Dan Halimah, anakku berusia empat bulan itu, juga
menangis karena popoknya basah. Aha, ratapan pada kesedihan harus segera
diakhiri, sesuatu mesti dibangunkan. Lalu kubuat pondok di
tepi bukit, di tebing sungai berair jernih itu. Sepanjang hari aku
menghabiskan waktu di sana, bertanam jagung dan palawija, memelihara
ikan mas, dan tentu juga menulis beberapa puisi. Tiap siang, Icha datang
membawa Halimah. Hanya beberapa jam saja. Dalam gendongan, kukatakan
pada Halimah bahwa ibunya ada di antara awan, memandanginya belajar
mengenal alam.
Begitu
saja matahari terbenam berkali-kali di antara sunyi dan hari-hari yang
tak bertepi. Dan begitu saja, di suatu siang yang lengang, Jeanette
muncul di pintu pondok. Aku terdongak seketika, lalu mulai memeluknya.
Kukira, pelukan tak harus diawali dengan mandi dan parfum. Jeanette,
sahabatku ketika kuliah di Sarbone, ah, apa yang membuatmu jauh-jauh ke
pondok di kaki bukit ini?
“Aku
meneliti beberapa spesies biota hutan di Sumatera,” jelasnya. Tentu
saja untuk bahan penulisan bukunya. Dari dulu ia memang tertarik pada
hutan tropis. Aku bahkan sempat berkali-kali menolaknya ikut ke
Sumatera, meskipun ia mengatakan sanggup mengongkosi segala biaya
perjalanan kami. Bukan apa-apa. Tidak enak rasanya terhadap Farida.
Bukankah cinta, kata Farida, seharusnya saling menenggang perasaan?
Tapi datang mendadak begitu? Meskipun kaget, kukira melihatnya kembali tak urung segera
membangun ingatanku pada hari-hari berkesan di bawah malam sepanjang
tepi Sungai Seine. Entah mengapa, ketika itu tawaran menghabiskan malam
Tahun Baru selalu tak bisa terhindarkan, terutama ketika kerinduan pada
Farida terasa meletup jadi katarsis. Dan seluruh penghianatan setengah
hati itu selalu diterima Farida dengan lapang dada. Aku menerimamu apa
adanya, katanya. Cinta menurutnya jangan dibangun dengan prasyarat. Dan
untuk itulah aku memilih Farida menjadi istriku, persis empat bulan
sejak Sarbone kutinggalkan.
Ah,
Jenette. Cinta katanya juga berwarna-warni. Ada 16 juta lebih warna
alam. Siapa yang bisa mematok cinta kita di warna mana? Jika sudah
begitu, aku selalu tak bisa mendebatnya. Ia dapat berbicara spesifik dan
sangat akademis untuk hal-hal yang bagiku hanya sebatas hakikat. Dan ia
selalu menutup dengan satu kesimpulan, “Jurusan Filsafatmu hanya
bertolak dari asumsi-asumsi saja. Kau tidak akan pernah paham tentang
gejala.”
Juga siang di bawah hutan ini. Ia setengah berlari menyusulku ke bawah pohon.
“Coba
lihat,” katanya sambil menunjukkan satu spesies pacet di dalam kantong
plastik. “Ini spesies langka. Bahkan kami tak menemukannya di sekitar
Sungai Amazon.”
Tak
bisa kutahan ketertarikanku. Ada beberapa garis warna di bagian
punggungnya, lebih mengingatkanku pada resistor bertoleransi 10 persen.
Karena itu kukatakan, “Dengan garis warna seperti ini, ia tak bisa
dilewati arus listrik melewati batas sepersepuluh.”
“Busyet,” umpatnya dalam bahasa Prancis. “Aku serius, Kal.”
“Jeanette, kau tahu aku tak paham eksakta. Nilai biologiku selalu pas-pasan.”
“Kau tak bisa memahami alam, jika tak tahu logika.”
“Dari
dulu kami menerima alam apa adanya sebagai sumber kehidupan. Kami tak
butuh ensiklopedi untuk menerka kapan hujan akan turun. Percaya tidak,
kami mengenal bunga ‘hujan’ yang tumbuh di tepi tegalan. Kalau bunganya
berkembang, itu dipercaya pertanda musim hujan akan segera mulai.”
“Oya?”
“Nanti kutunjukkan. Percaya deh! Kujamin tak ada di Paris.”
Dan sambil menggamit lenganku, ia berujar, “Aduh, Kal! Ajarilah aku tentang alam!”
“Bilang itu pada profesormu.”
“Si
botak itu? Aduh, kau tahu apa katanya? Kita semua berasal dari satu
cahaya pada mulanya. Dan ketika cahaya membentur bumi, terciptalah
berbagai warna. Ada Eropah, Amerika, Asia…”
“Mengapa sih selalu dimulai dari Eropah?”
“Ya, tentu saja. Penduduk Amerika saja cuma berasal dari buruh tambang Eropah.”
“Lalu Asia?”
“Asia, ya, jajahan Eropah. Mengapa sih dibuat rumit.”
“Bukan rumit. Profesormu yang bilang kita semua berasal dari satu warna.”
“Iya, deh. Dengar, Kal! Mengapa warna diciptakan.”
“Maaf, Jeanette, aku belum bisa memikirkannya.”
“Ayolah, Kal! Katakanlah satu asumsi saja.”
“Aku sudah lama meninggalkan kampus.”
“Aku tidak tanya kampus, Sayang. Aku tanyakan tentang warna. Ayolah, ceritakan padaku tentang warna[12].”
“Warna itu ternyata berwarna-warna,” jawabku sekenanya.
Jeenette menatapku sekilas. Ia tampak berpikir, lalu tertawa.
“Sederhana, ya, Kal. Mengapa selalu kita buat rumit,” cetusnya.
“Karena tidak indah kalau dibuat sederhana.”
“Ah,
Plato bilang, yang indah malah warna yang sederhana, bentuk yang
sederhana, mungkin juga cinta yang sederhana. Seperti cinta istrimu,
misalnya.”
“Aku kira Plato tak pernah mengatakan itu.”
“Aku bilang kan misalnya.”
“Aku tak mau misalnya.”
“Misalnya,
Kal. Misalnya. Coba, bagaimana kalau aku tak menikahi David dulu.
Misalnya aku tetap berteman denganmu. Misalnya kau juga tak menikahi
Farida dulu…”
“Terlalu rumit kukira.”
“Maksudku
begini, Kal. Misalnya semua tak perlu terjadi. Aduh, Sayang, aku tak
bisa menyusun struktur bahasa yang mudah. Kau tahu, dari dulu nilai
bahasaku tak pernah baik. Aku bahkan cadel, Kal, waktu kecil. Percaya,
tidak?”
Aku mengangguk saja. Jeanette lalu menyandarkan kepalanya di pundakku.
“Gara-gara
cadelku, aku sempat minder lho, Kal. Tapi kawanku baik semua. Mereka
membantuku melafalkan kata secara benar. Apalagi Mariette. Baik banget
anaknya. Cadel katanya hanya persoalan bagaimana meletakkan lidah dan
menggetarkannya. Padahal ia masih kecil lho waktu itu. Teman-temanku pintar semua kan, Kal? Kau juga! Aduh, coba kalau saja kau memilih Fisika dulu!”
“Jeanette,” kataku pelan. “Pilihan jangan diperdebatkan.”
“Tentu saja harus, Kal. Tiap pilihan itu hidup kita. Coba kalau aku tak memilih David dulu.”
“Coba bagaimana? Sudah menikah, mengapa dipikirkan lagi?”
“Aku bilang kan coba. Misalnya, Kal.”
“Aku kira sudah beberapa kali kau mengatakan itu, Jeanette.”
“Ya,
sudah. Aku tak mau mengatakannya lagi.. Begini saja, Kal. Aku mau tidur
saja. Aku capek. Bangunkan aku nanti. Dan gelas-gelas itu, Kal, maukah
kau membantuku merapikannya.”
“Tentu saja.”
Aku bangkit, tapi segera Jeanette mengamitku. “Nanti saja, Kal. Biar aku yang merapikannya. Aku kira kau terlalu capek.”
Jeanette
berbaring di sebelahku. Ia bernyanyi dengan suara yang lirih. Entah
lagu apa. Kukira lagu rindu untuk keluarga dan rumahnya di sisi danau.
Tambah lama terasa makin menyayat. Dan ketika Jeanette tertidur, tak
bisa kucegah untuk tidak mengusap rambutnya.
* * *
[1] Srigunting Sumatera, salah satu spesies burung yang hidup di hutan tropis.
[2] Paku rasam, daun berkelopak empat, dua memanjang ke sisi luar, dan dua pendek di bagian dalam.
[3] Spesies burung langka di hutan Sumatera.
[4] Spesies kucing hutan di sumatera.
[5] Adaptasi dari puisi Rendra, Episode, “Sementara itu aku bersihkan guguran bunga jambu yang mengotori rambutnya.”
[6] Lumbung tempat penyimpanan padi.
[7]
Anak-anak laki-laki yang sudah dewasa tidak lagi tidur di rumah. Mereka
bersama lelaki seusianya tidur di pondok-pondok tertentu di sekitar
kampung.
[8]
Artinya berbisik-bisik. Dalam tradisi Mandailing, pacaran dilakukan
dengan markusip. Tengah malam, lelaki mendatangi kamar tidur anak gadis.
Dimulai dengan meniupkan alat musik tradisional, dan si gadis menyahut
dari dalam kamar. Sambil berbisik-bisik, masing-masing saling
menceritakan perasaannya. Sebelum pulang, si gadis biasanya memberikan
kain selendang untuk selimut pacarnya.
[9] Dari puisi Chairil Anwar, “Hampa”.
[10] panggilan untuk saudara laki-laki dari pihak Ibu dalam budaya Mandailing dan Minangkabau.
[11]
Tudung pohon setinggi 20 – 40 meter, banyak cabang dan berdaun lebat.
Berhawa sejuk sepanjang tahun. Tidak ada perubahan suhu antara siang dan
malam.
[12] Mengutip dari cerpen Gus Tf Sakai, “Kemilau Cahaya Perempuan Buta.”
Sumber : http://askolan.wordpress.com/category/sastra/hutan-bulan-oktober/
Sumber : http://askolan.wordpress.com/category/sastra/hutan-bulan-oktober/
0 Response to "Cerpen - Hutan Bulan Oktober"
Post a Comment
Berkomentarlah dengan bijak dan sesuai Topik. Dilarang berkomentar yg menyinggung SARA, kata kotor, pelecehan & semisalnya. Admin berhak tidak menampilkan komentar Anda jika melanggar Peraturan. Terimakasih Banyak, Horas!!!!