Mandailing


Posisi Mandailing di Propinsi Sumatra Utara
(foto di scan dari buku Tulila)
          Kata Mandailing mempunyai dua arti. Pertama sebagai kesatuan budaya, maka Mandailing adalah nama suatu etnis (suku bangsa). Kedua, sebagai kesatuan wilayah di Propinsi Sumatra Utara. Wilayah Mandailing terletak di Kabupaten Mandailing-Natal. Sebelum tahun 1992, wilayah ini terletak di Kabupaten Tapanuli Selatan. Batas-batas wilayahnya di sebelah utara dengan Kecamatan Angkola (Simarongit, Desa Sihepeng) dan dengan Padang Bolak (Rudang Sinabur).  Ke arah barat berbatasan  dengan wilayah Natal (Lingga Bayu), sementara ke arah selatan berbatasan dengan Kabupaten Pasaman (Ranjo Batu), Propinsi Sumatra Barat. Perbatasannya ke arah timur berada di wilayah Barumun. Sejak lama wilayah Mandailing dibagi atas dua sub-wilayah yaitu Mandailing Godang (Groot Mandailing) dan Mandailing Julu (Klein Mandailing). Pada masa sebelum kemerdekaan, raja-raja di Mandailing Godang umumnya bermarga Nasution dan di Mandailing Julu bermarga Lubis. Fakta ini menegaskan bahwa Mandailing dapat dilihat dari dua pengertian yaitu sebagai suku-bangsa dan wilayah geografis. Gunung berapi yang masih aktif Gunung Sorik Marapi berada di perbatasan antara Mandailing Godang dan Mandailing Julu.


Posisi Kab. Mandailing Natal (warna merah) di  Prop. Sumatra Utara
          Asal usul kata Mandailing banyak diperdebatkan, namun didominasi oleh dua pendapat. Berasal dari Mande Hilang (artinya ibu yang hilang, Minangkabau) dan Mandala Holing, sebuah nama kerajaan yang telah ada sejak abad ke-12, terbentang dari Portibi di Padang Lawas sampai ke Pidoli di Panyabungan. Dokumentasi sejarah Mandailing memang sulit diperoleh karena sekalipun ada warisan aksara tradisional, surat tulak-tulak dan kitab pustaha, namun pustaha lebih banyak berisi tentang pengobatan tradisional, ilmu gaib bahkan ramalan mimpi (the interpretation of dream). Sejarah Mandailing justru lebih banyak diketahui dari Buku Kakawin Negarakertagama (Nagara Kretagama) yang ditulis oleh Pujangga Majapahit Mpu  Prapanca. Ia mencatat bahwa pada tahun 1287 Saka (1365 Masehi) prajurit Majapahit menyebutkan ada wilayah yang bernama Mandahiling.  Kata Mandahiling ditemukan pada syair ke-13 yang berbunyi:

Naskah Nagara Kretagama
          “Lwir ning nusa pranusa pramukha sakahawat/    
          ksoni ri Malayu nan jambi mwan palembang
          karitang i teba len/ Dharmacraya tumut,  kandis
          kahwas manankabwa ro siyak i rkan/  Kampar
          mwan i pane, kampe harw athawe
          mandahiling i tumihan parilak/ mwan i barat"

Selain kedua pendapat tadi nama Mandailing juga tertulis pada Tonggo-tonggo Si Boru Deak Parujar, sebuah buku kesusasteraan Toba klasik. Namun fakta pada Naskah Nagara Kretagama jauh lebih memberikan jawaban terhadap asal usul bangsa Mandailing. Lebih jauh lihat tulisan Zulkifli B. Lubis tentang Revitalisasi Kebudayaan Mandailing. Perlu dicatat bahwa UNESCO, sebuah badan PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan telah menetapkan Naskah Negarakertagama sebagai Daftar Ingatan Dunia (Memory of World), sejak 20 Juni 2013, setelah sebelumnya naskah ini sejak 2005 diterima UNESCO sebagai MOW untuk  Asia Pasifik. Naskah Negarakertagama sampai saat ini masih tersimpan di Perpustakaan Nasional, Jakarta dan di KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal Land en Volkenkunde), Belanda. 

          Asal usul suatu kelompok dapat juga dilihat dari tarombo (silsilah) marga mereka. Marga Nasution (dari nenek-moyang bernama Sutan Diaru) dan Lubis (dari nenek-moyang bernama Namora Pande Bosi) adalah marga dengan jumlah "pengikut" terbesar. Masyarakat Mandailing menurunkan marga berdasarkan marga ayahnya (patrilineal). Selain marga Lubis, Namora Pande Bosi juga mempunyai keturunan yang kemudian memakai marga Pulungan dan Harahap. Marga-marga lain yang dikenal di Mandailing adalah: Rangkuti dan Parinduri (memiliki nenek-moyang yang sama, Mangaraja Sutan Pane), Matondang dan Daulae (memiliki nenek-moyang yang sama, Parmato Sopiak) dan Batubara dari nenek-moyangnya, Bitcu Raya. Selain itu dikenal juga: Hasibuan, Dalimunte, Mardia, Tanjung dan Lintang.


Areal persawahan dikelilingi bukit di Kecamatan Pakantan
Cukup menarik bahwa di Mandailing terdapat Suku Lubu atau dikenal dengan orang (Alak) Siladang. Mereka tinggal di bagian selatan Panyabungan . Sementara di Muarasipongi tinggal Suku Ulu (Alak Muarasipongi) Dahulu mereka dipandang sebagai suku terasing dengan bahasa yang berbeda dengan bahasa Mandailing dan memiliki raja sendiri pada masa lalu. 


Mandailing Julu berhawa sejuk dikelilingi oleh gunung. Aek Batang Gadis dan Aek Pungkut adalah dua sungai yang mengalir dari hulu yang sama (Gunung Kulabu) dan bertemu kembali di Muara Pungkut, selanjutnya memakai nama Aek Batang Gadis yang bermuara ke Singkuang, Lautan Hindia di pantai barat Sumatra. Kotanopan adalah kota kecil yang dianggap sebagai pusat Mandailing Julu. Persawahan banyak ditemui di sepanjang lereng gunung dan di tepi sungai, namun luasnya kurang memadai dibanding dengan areal persawahan di Mandailing Godang. Hawanya yang sejuk sangat sesuai untuk tanaman kopi. 

KOPI MANDAILING (Mandheling Coffee)
Tampilan depan
kaleng Mandhelling
coffee
          Sebelum perang dunia ke-2 kopi yang dihasilkan dari Pakantan dan Ulu Pungkut diekspor ke Eropah dan Amerika dan kemudian dikenal sebagai Mandheling coffee. Saat ini Mandheling Coffee masih beredar dan dijual di Indonesia dan di luar negeri baik dalam bentuk bubuk maupun biji (lihat foto). Dalam penjelasan di pembungkus kopi ini tertulis "Mandheling Coffee uses only premium grade 1 single-origin coffee beans grown in the highlands of the Mandailing tribes in North Sumatra".
          Belanda telah menjejakkan kaki dan membawa kopi ke wilayah Mandailing sejak tahun 1699. Wilayah Pakantan menjadi pusat penanaman dan pengembangan kopi (Arabika) di Mandailing. Sayang era keemasan kopi Mandailing yang dikenal dunia mulai tahun 1878 seolah meredup. Saat ini  sekitar 50 ha perkebunan kopi rakyat mulai dikembangkan kembali di wilayah Simpang Banyak, Ulu Pungkut (Desa Langgamtama). Sementara di dekatnya sebuah perusahaan Australia mengelola sekitar 150 ha kopi Arabika

          Di wilayah ini juga tumbuh subur karet dan kayu manis. Gula aren kualitas terbaik yang dikenal dengan gula bargot banyak dihasilkan dari pohon enau. Bekas penambangan emas banyak ditemukan di Mandailing Julu, bahkan di aliran Aek Batang Gadis masyarakat sering mendapatkan emas (sere) dengan cara manggore (mendulang). Banyaknya ditemukan sumber emas ini menjadikan Mandailing mendapat gelar sebagai Tano Sere
          Mandailing Godang memiliki areal dataran rendah yang cukup luas dan berhawa panas. di wilayah ini padi tumbuh subur dan menjadi lumbung beras di Mandailing. Ibukota Kabupaten Mandailing Natal, Panyabungan terletak di wilayah ini. Panyabungan awalnya adalah sebuah kota kecil. Namun karena posisinya di tengah-tengah dataran rendah Mandailing Godang ia kemudian berkembang pesat sebagai pusat perdagangan dan pemukiman. Aek Mata yang bermuara ke Aek Batang gadis adalah sungai yang membelah Kota Panyabungan dan menjadikan pembagian wilayah berdasarkan arah alirannya yaitu: Panyabungan Julu (hulu), Panyabungan Tonga-tonga (tengah) dan Panyabungan Jae (hilir). 


     Orang Mandailing juga gemar menciptakan aneka makanan (kuliner Mandailing) yang menarik dan enak rasanya. Makanan ini khas Mandailing karena memiliki perbedaan bentuk, tampilan, rasa dan kemasan dengan daerah atau etnis lain. Ikan sale, daun ubi tumbuk, sambal udang kecepe adalah di antara makanan khas yang dikenal di Mandailing. Bagi perantau, menyebutkan nama makanan ini saja, dapat menimbulkan air liur. Untuk makanan jajanan (kudapan) juga dikenal lemang, toge Panyabungan, pakkat, anyang pakis, kipang pulut dan alame (dodol).


TAMAN NASIONAL BATANG GADIS (Batang Gadis National Park, North Sumatra)
Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) luasnya 108.000 Ha berada di Pegunungan Bukit Barisan, 300-2.145 meter di atas permukaan laut. TNBG merupakan hutan negara kawasan hutan lindung register yang sebenarnya telah ditetapkan sejak zaman penjajahan Belanda. Ada enam kawasan yang termasuk ke dalam TNBG yaitu Hutan Lindung: Batang Gadis I (register 4), Batang Gadis II (register 5), Batang Natal I (register 27), Batang Natal II (register 28), Batahan Hulu (register 29) dan Batang Parlampungan I (register 36).


Batang Pungkut, mengalir di belakang Sopo
Sio Parsarimpunan ni Tondi Mandailing,
Saba Garabak, Hutapungkut Jae.
KepMen Pertanian No. 923/Kpts/Um/12/1982, menetapkan kawasan TNBG sebagai hutan lindung dan hutan produksi terbatas. Gagasan TNBG yang dideklarasikan pada 31 Desember 2001 adalah upaya mewariskan hutan kepada anak cucu. TNBG adalah pengakuan negara dan penguatan terhadap tradisi lokal masyarakat Mandailing-Natal yang telah menjaga hutan alam dan sumber airnya selama ini. TNBG berperan sangat penting untuk melindungi Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Gadis, seluas 386.455 Ha. Sepanjang DAS Batang Gadis, mengalir 943 sungai dan anak sungai. TNBG juga berfungsi untuk menjaga tata air regional, karena keseimbangan air di lokasi lain yang bertetangga dengan Mandailing Natal seperti Kab. Tapanuli Selatan, Pasaman (Sumbar) Rokan Ulu (Riau).  


Banjir bandang memutuskan jembatan Aek Rantau Puran di Desa
Gunung Tua Lumban pasir, Kec. Panyabungan (minggu, 26/02/2012),
foto: Kompas, 28/02/2012
Golden Cat (Catopuma temminikii)
Berdasarkan penelitian LIPI terdapat 222 jenis tumbuhan di hutan dataran rendah dan 225 jenis di hutan pegunungan. Tumbuhan Kantung Semar yang dilindungi sesuai PP No. 7/1999 juga terdapat di TNBG. TNBG juga memiliki kekayaan 218 jenis burung (38 di antaranya jenis langka dan dilindungi), bahkan 10 jenis burung merupakan burung migran dari China dan Jepang. Harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae), harimau dahan, kucing hutan, kucing emas, beruang madu (Helarctos malayanus), tapir sumatra (Tapirus indicus), kambing hutan, orang utan (Pongo pygmaeus), siamang (Hylobates syndactylus) dan lain-lain adalah kekayaan mamalia yang luas biasa di TNBG. Maraknya penebangan liar adalah ancaman utama bagai pelestarian TNBG. Panthera tigris sumatrae adalah harimau yang terkecil ukurannya dari 9 spesies harimau di dunia (3 di antaranya telah punah). Jumlah harimau ini sudah sangat kritis (berkisar 250-300 ekor) disebabkan pembukaan lahan di hutan yang menjadi pemukiman harimau dan perburuan liar. (bahan diambil antara lain dari Buletin Haba No. 61/2011) 


BAHASA dan TULISAN MANDAILING
Suku Bangsa Mandailing memiliki bahasa sendiri yaitu Bahasa Mandailing (rumpun bahasa Austronesia). Dalam prakteknya bahasa ini dibagi atas tujuh ragam yang dibedakan atas kosa-kata yang berbeda. Pertama, ata somal, yang dipergunakan dalam komunikasi sehari-hari. Kedua, ata andung, dipakai dalam tradisi meratap (mangandung). Ketiga, ata teas dohot jampolak, dipakai jika bertengkar (caci-maki), Keempat, ata si baso atau ata Datu/Adat, suatu ragam bahasa yang dipakai oleh dukun (datu). Kelima, ata parkapur, dipakai ketika di dalam hutan (mencari kapur barus, rotan dan lain-lain). Keenam, Ata Poda, dipakai untuk penulisan pustaha (sejarah, hal-hal gaib dan sebagainya) dan ketujuh, Ata Bulung-bulung, dalam bentuk perlambang pada pergaulan remaja dan upacara adat seperti mangupa dan lain-lain.  Contohnya, harimau disebut babiat (hata somal) dan ompung i, raja i atau na gogo i (hata parkapur). 

Mandailing juga memiliki aksara tradisional untuk menulis yang disebut Surat Tulak-tulak. Dari tujuh aksara di Indonesia, salah satunya adalah aksara Mandailing. (Surat Tulak-tulak selengkapnya lihat foto berikut). 

Surat (aksara) Tulak-tulak (sumber Jasinaloan)


Menurut van der Tuuk dan Uli Kozok (2009) aksara ini menyebar dari selatan ke Utara atau dari Mandailing ke Toba dan kemudian dikenal sebagai aksara Batak, selanjutnya ke Angkola terus ke Simalungun, Pakpak dan Karo. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Bisuk Siahaan (2005) dalam bukunya "Batak Toba, Kehidupan di Balik Tembok Bambu". Pendapat ini ikut memperkuat bahwa Mandailing bukan sub-etnis Batak. Perlu dicatat bahwa di Mandailing banyak ditemukan situs-situs arkeologis, seperti di Desa Simangambat, Kec. Siabu terdapat reruntuhan candi Ciwa (Hindu) yang didirikan pada abad ke-8 Masehi. Situs-situs lain terdapat di Desa Pidoli Lombang (Saba Biaro), Desa Huta Siantar (Padang Mardia), Desa Sibanggor Juli (Gunung Sorik Marapi) dan lain-lain. Fakta arkeologis seperti ini belum pernah ditemukan di Pusuk Buhit, Toba. Surat Tulak Tulak (Aksara Mandailing) adalah salah satu warisan budaya Mandailing asli yang harus dilestarikan. Kosa kata yang berasal dari bahasa Sanskerta dan Tamil bisa ditemukan dalam bahasa Mandailing, suatu fakta historis persinggunggan peradaban India dengan Mandailing, yang bukan hanya terekam dalam bahasa, melainkan juga terbukti dari kehadiran bangsa tersebut secara fisikal di Mandailing tempo dulu. Bisuk Siahaan, mengakui bahwa tidak pernah ditemukan sebuah prasasti pun di wilayah Toba, yang dapat menunjukkan bukti fisik kehadiran bangsa lain di wilayah itu. Sementara di Mandailing memiliki banyak sekali peninggalan purbakala dari zaman batu hingga zaman Hindu/Buddha, yang sebagian sudah hancur, terlantar, dan sejauh ini masih menjadi 'warisan bisu' karena belum banyak diteliti secara ilmiah.



DALIAN NA TOLU
Tubu unte, tubu dohot durina. Tubu jolma, tubu dohot adatna, artinya tumbuh pohon jeruk, tumbuh pula durinya, tumbuh (muncul) manusia, muncul pula adat-istiadatnya. Pepatah inilah yang menjelaskan bahwa setiap manusia memiliki adat (nilai luhur) dalam kehidupan dan lingkungannya. Dalam nilai-nilai budaya etnis Mandailing dikenal Dalian Na Tolu (landasan yang tiga atau tiga landasan) sebagai nilai bersama (shared values), yaitu mora, kahanggi, dan anakboru

Dalam implementasi nilai ini dikenal istilah: Pertama, hormat marmora, maksudnya kita hormati pihak mertua, karena kita sudah menyambungkan pertalian darah dengan beliau. Kedua, manat markahangi”, maksudnya dengarkan apa yang terjadi di antara sesama saudara. Kahanggi adalah saudara dari pihak ayah (laki-laki) seperti adik-abang, sepupu (anak laki-laki paman), bahkan lebih luas adalah saudara semarga. Dengan demikian seharusnya seorang yang bermarga Nasution akan berkahanggi dengan Nasution lainnya. Namun tidak jarang terjadi perkawinan semarga yang mengakibatkan orang semarga saling menjadi mora atau anakboru. Ketiga, elek maranakboru, maksudnya pandai-pandailah mengambil hati pihak yang memberikan bantuan, baik bantuan tenaga atau yang yang lainnya. Anak boru dalam budaya Mandailing adalah pihak yang bekerja lebih banyak, biasanya mereka lebih sabar pula. Orangtua pihak laki-laki menjadi anakboru dari pihak orangtua perempuan jika anaknya menikah dengan boru besannya. 

Selanjutnya dikenal etika bertutur (partuturon) akibat adanya hubungan darah, perkawinan dan kekerabatan. Partuturon selanjutnya dikenal dalam lingkup yang lebih luas sewaktu berkomunikasi di masyarakat yang berasal dari Mandailing di mana saja. Pada hari pekan (poken) di Mandailing, anak gadis yang berjualan akan memanggil udak (paman, saudara laki-laki ayah) kepada pembeli yang lebih kurang seusia ayahnya. Berikut adalah contoh partuturon dengan membayangkan "saya" atau au adalah anak laki-laki:

  • orangtua laki-laki dan perempuan ayah saya, dipanggil ompung, keduanya disebut ompung suhut;
  • orangtua laki-laki dan perempuan ibu saya, dipanggil ompung, keduanya disebut ompung mora,
  • orangtua laki saya dipanggil amang dan orangtua perempuan, dipanggil inang (umak)
  • orangtua laki-laki istri saya, dipanggil tulang, yang perempuan, dipanggil nantulang (inang tulang). 
  • saudara saya yang lebih tua, dipanggil angkang dan lebih muda dipanggil anggi atau iboto (perempuan), 
  • Partuturon selanjutnya dapat diperoleh pada dokumentasi yang tersedia di PIDM.
      Na Itam Na Robi
    Zaman sebelum masuknya Islam ke Mandailing, orang Mandailing menyebut zaman itu na itom na robi, artinya, zaman purba yang hitam atau gelap, yakni jahiliah. Sebelum Islam, masyarakat Mandailing adalah masyarakat si pele begu, yakni masyarakat yang memuja roh leluhur mereka.
    Sampai sekitar awal abad ke-20, sisa-sisa dari agama kuno itu masih tampak bekasnya dalam kehidupan masyarakat Mandailing. meskipun agama Islam telah merata menjadi panutan orang Mandailing. Di beberapa tempat misalnya masih dilakukan orang upacara pemanggilan roh yang disebut pasusur begu atau marsibaso yang sangat dikutuk oleh ulama.
    Amalan si pele begu melibatkan upacara meminta pertolongan roh leluhur buat mengatasi misalnya bencana alam seperti musim kemarau panjang yang merusak tanaman padi penduduk. Orang-orang yang pernah menyaksikan upacara itu sulit membantah lantaran turunnya hujan lebat di tengah kemarau panjang setelah selesainya upacara ritual itu dilakukan.
    Namun iman orang-orang Mandailing sebagai pemeluk agama Islam menganggap perbuatan itu, dosa yang mesti dihindari, mendorong masyarakat Mandailing membuang sama sekali sisa-sisa warisan si pele begu. Alim ulama masyarakat Mandailing telah menapis/menyaring amalan dan perubatan dari zaman na itom na robi dan mengekalkan amalan dan perbuatan yang tidak bertentangan dengan Islam
      Perang Padri (1816-1833)
    Masa masuknya Islam sebelum serbuan Kaum Paderi, disebut oleh orang Mandailing maso silom na itom (masa Islam yang hitam). Pada masa itu agama Islam dianut orang Mandailing bercampur aduk dengan pele begu (agama tradisi). Berapa lama keadaan itu berlangsung tidak diketahui dengan pasti.Perubahan besar berlaku dengan serbuan Kaum Paderi dari Minangkabau ke Mandailing sekitar 1820 dan membawa apa yang dijolok oleh orang Mandailing sebagai silom Bonjol (Islam Bonjol), yakni "satu mazhab Islam yang mencita-citakan kemurnian".
    Dengan serbuan Kaum Paderi itu maka bergantilah maso silom na lom-lom (Islam hitam) dengan apa yang disebut orang Mandailing maso silom na bontar (masa Islam putih) atau maso silom Bonjol (masa Islam Bonjol). Hitam barangkali merujuk kepada warna biru nila (gelap) pakaian penentang-penentang Paderi.
    Tombak and lembing dari zaman Paderi
    Orang Mandailing menyebutnya demikian kerana Kaum Paderi menyerbu Mandailing dari Bonjol, dan Kaum Paderi yang mengembangkan agama Islam di masa itu umumnya berpakaian warna putih. Masa penyerbuan Paderi itu terkadang disebut orang Mandailing maso di na rinca (di zaman Tuanku Nan Renceh), seorang Imam Paderi.
    Pecahnya Perang Paderi dan disusuli kemasukan Belanda mencetuskan perantauan orang-orang Mandailing ke Semenanjung Malaysia di abad ke-19. Gerombolan Mandailing ini terlibat dalam Perang Rawa 1848, Perang Pahang (Perang Orang Kemaman), 1857-1863, Perang Selangor (Porang Kolang), 1867-1873 dan Perang Perak, 1875-1876.
      Na Mora Na Toras
    Sebelum masa Pendudukan Jepang di Indonesia, atau pada masa pra-kemerdekaan, dalam masyarakat Mandailing yang mendiami satu kawasan tertentu, terdapat tokoh-tokoh pemimpin tradisional yang lazim disebut Na Mora Na Toras. Mereka merupakan pemimpin dalam bidang pemerintahan dan adat.
    Secara harfiah perkataan Na Mora Na Toras berarti Yang Dimuliakan (dan) Yang Dituakan. Pengertian demikian menunjukkan bahwa mereka yang berkedudukan sebagai Na Mora Na Toras (semuanya lelaki), merupakan tokoh-tokoh yang dimuliakan dan dituakan dalam masyarakat Mandailing.
    Orang-orang atau tokoh pemimpin yang disebut sebagai Na Mora adalah kaum bangsawan dari golongan marga tanah. Mereka terdiri daripada raja-raja dan kerabat dekatnya yang satu keturunan atau satu marga. Di Mandailing Julu yang digolongkan sebagai Na Mora ialah raja-raja bermarga Lubis dan kerabat terdekat mereka. Sedangkan di kawasan Mandailing Godang yang digolongkan sebagai Na Mora ialah raja-raja bermarga Nasution dan kerabat dekat mereka.
    Tokoh-tokoh pemimpin yang disebut sebagai Na Toras bukan merupakan golongan bangsawan, sebab mereka tidak berasal dari marga tanah. Namun para Na Toras mempunyai kedudukan yang terhormat dalam masyarakat Mandailing sebab mereka mengemban sebagai pemegang atau penguasa adat dalam sesuatu kerajaan. Artinya, untuk memutuskan apakah sesuatu upacara adat dapat dilakukan atau tidak, misalnya dalam perkahwinan, harus mendapat persetujuan Goruk-Goruk Apinis dan kemudian disetujui oleh Na Mora Na Toras dan baru disahkan oleh Raja Panusunan Bulung.
    Pada hakikatnya sebutan Na Mora Na Toras mendukung dua macam pengertian sekaligus. Pengertiannya yang pertama ialah tokoh-tokoh pemimpin tradisional itu sendiri sebagai pribadi. Pengertiannya yang kedua ialah lembaga kepimpinan yang mereka dukung bersama.
    Tokoh-tokoh pemimpin tradisional dan lembaga kepemimpinan sama-sama disebut sebagai Na Mora Na Toras terdapat pada setiap kerajaan kecil yang dinamakan banua atau huta. Sebagai kerajaan, masing-masing banua atau huta mempunyai wilayah sendiri yang jelas batas-batasnya dan ditempati sejumlah penduduk serta mempunyai pemerintahan sendiri.
    Tindak-tanduk mereka ditata oleh aturan yang tersirat atau tersurat, sebab dalam menjalankan tugas tokoh-tokoh pemimpin tersebut hanya dapat bertindak sesuai dengan aturan adat  dan mereka menggunakan perlengkapan dan lambang-lambang. Misalnya sidang peradilan adat dilakukan di Sopo Godang (balai sidang) dan dihadirkan lambang keadilan berupa patung kayu, Sangkalon Sipangan Anak Sipangan Boru, dan dilengkapkan dengan burangir (sirih adat).
    Kompleks SopoGodang dan Bagas Godang
    Tapi apabila penguasa militer Jepang menghapuskan kerajaan-kerajaan kecil di Mandailing di tahun 1942 dan disusuli masa kemerdekaan beberapa tahun kemudian, para raja dan pemimpin tradisional sekaligus lembaga kepemimpinan Na Mora Na Toras hilang kekuasaan mereka dalam menjalankan pemerintahan dalam masyarakat Mandailing. Namun dalam pengaturan dan pengawasan adat, mereka masih berfungsi sampai sekarang meskipun kekuasaan mereka tidak sebesar dulu.
    Gambar: suasana kampung mendeling pada tahun 1910

0 Response to "Mandailing"

Post a Comment

Berkomentarlah dengan bijak dan sesuai Topik. Dilarang berkomentar yg menyinggung SARA, kata kotor, pelecehan & semisalnya. Admin berhak tidak menampilkan komentar Anda jika melanggar Peraturan. Terimakasih Banyak, Horas!!!!