Udara segar, belum terkontaminasi polusi pabrik dan asap kendaraan bermotor serta hijau daun, masih asri warnanya. Hanya sesekali tersentuh debu-debu jalan yang ingin menghampiri sekedar bercerita sedikit. Terkadang kupu-kupu yang menyorotkan sejuta warna, berputar-putar mengitari taman di sudut desa yang sering aku kunjungi demi hanya melepaskan lelah setelah berhari-hari sibuk dengan aktivitas sekolah. Ya, ku pikir inilah tempat yang paling bisa menghiburku dari setiap masalah. Teman yang paling bisa mengerti perasaanku bila semua orang memaksaku dengan keputusan mereka karena taman ini tidaklah rusak walaupun disiram hujan berkepanjangan.
Ah…aku terlalu nyaman
dengan posisiku sekarang. Mendapatkan pekerjaan yang baru saja aku
senangi semenjak 3 tahun yang lalu. Menikmati pekerjaan yang dulu sama
sekali bukan cita-citaku tapi ternyata sangatlah menyenangkan. Memang
aku tidak bisa merealisasikan angan-anganku dulu ke dalam keadaan nyata.
Tapi setidaknya aku bisa membagi ilmuku untuk anak-anak seumurku dulu.
Ketika aku memimpikan untuk bisa menjadi pembaca puisi terkenal seperti
Chairil Anwar. Atau aktris professional seperti Dian Sastro. Aku bisa
melatih mereka kapan aku mau, tentunya atas kemauan mereka. Aku bisa
menumpahkan seluruh ilmuku ke otak anak-anak yang mempunyai hobby sama
sepertiku, sewaktu aku ingin menjadi anak terhebat dan melirik perhatian
orang banyak.
Tapi ada satu titik kelemahanku yaitu aku selalu
kalah dengan udara bulan Desember. Bulan di mana mengharuskanku selalu
minum obat influenza setiap waktu karena cuaca Desember yang tidak
pernah bersahabat dengan tubuhku. Kalau tidak bapak dan Ibu pasti akan
menceramahiku dan memaksa memasukkan obat dari bidan ke mulutku. Tapi
itulah salah satu bentuk kasih sayang mereka. Dari kecil aku terlalu
sensitive dengan musim hujan dan udara dingin. Makanya bapak dan ibu
mati-matian menjagaku. Tak satupun keinginanku yang mereka tolak kecuali
berpisah jauh dari mereka. Mungkin kiarena aku adlah anak semata wayang
yang diharapkan menjadi penerus bapak untuk memimpin Yayasan Pendidikan
MAS yang kami punya. Mengajar TPQ setiap ba’da Maghrib dan membantu
memimpin Yasinan ibu-ibu setiap hari Jum’at di desa kami. Desa yang
mayoritas masyarakatnya kurang memahami ilmu agama, walaupun hampir
seluruhnya berasal dari pulau Jawa. Pulau yang konon katanya banyak
pondok pesantren.
Pagi itu hujan kembali menyiram rumah-rumah
beratap seng. Suaranya benar-benar mencemaskan hati semua warga. Bisa
saja guyuran air hujan itu melapukkan bahan dasar rumah dari kayu itu.
Oh tidak,jika itu terjadi berarti rumahku juga akan jadi korban amukan
air hujan. Tapi tidak sekejam itu, Tuhan menurunkan hujan bukan untuk
merusak rumah-rumah manusia melainkan menyuburakan tanaman-tanaman di
kebun. Ko’ hujan tak kunjung reda ya? Tanyaku dalam hati. Padahal hari
ini aku harus ke sekolah. Aku pun sudah meminum obat tanpa diingatkan
oleh kedua orang tuaku. Karena aku harus dalam keadaan fit untuk melatih
anak-anak membaca puisi dan drama. Ya, di sekolah aku membuat sanggar
teater kecil-kecilan. Bukan hanya anak-anak di sekolah kami saja yang
bergabung di sini. Tapi juga anak-anak SMAN di desa kami. Ada sebuah
kepuasan tersendiri di batinku. Paling tidak, tak hanya satu dua orang
yang menjadi penerus hobbyku.
Ini telah kujalani semenjak tiga
tahun lalu. Memang tiga tahun bukanlah waktu yang sebentar.Tiga tahun
sudah umurku lepas dari 23. Berarti umurku sudah menginjak 26 tahun.
Tapi tidak pernah terlintas di alam fikirku tentang pernikahan. Aku
terlalu nyaman dengan kebebasanku mengembangkan ide-ide dan
kreativitasku untuk anak-anak. Jika saja tidak pernah ada orang yang
mengingatkanku tentang pernikahan, niscaya aku akan lupa. Hasna, Aini,
ina, Aca dan teman-temanku lainnya. Mereka sudah menikah dan rata-rata
sudah mempunyai anak-anak. Berarti aku sudah menjadi seorang tante bagi
anak-anak mereka. “ Jadi kapan kamu menyusul?” Ledek Hasna ketika
mengunjungiku semenjak beberapa tahun terpisah. Jawaban apa yang harus
ku berikan untuk menyenangkan hati sahabat-sahabatku? Dan siapa
laki-laki yang akan ku jadikan korban seandainya mereka menanyakan siapa
yang akan bakal menjadi suamiku?
“ kamu sudah kerja, umurmu juga
sudah dewasa dan cita-citamu ku rasa sudah kau nikmati, Kita sengaja
mengunjungimu untuk menjemput undangan. Jangan sampai kamu baru mau
merried bareng anak-anak kami, keponakanmu. Sahut Aini sambil menepuk
pundakku. Membuyarkan kecemasan serta menambah beban. Akh…kalian tidak
akan pernah mengerti apa yang aku rasakan.
Sekarang,
apa yang harus aku lakukan? Menuruti kemauan mereka? Sahabat,
orang-orang dan mungkin juga kedua orang tuaku? Aku belum terfikir ke
arah sana karena aku belum menemukan laki-laki yang cocok setelah
beberapa tahun yang lalu. Ya, aku sudah cukup sakit hati dengan yang
namanya laki-laki. Hendra namanya. Dia adalah satu-satunya laki-laki
yang meninggalkanku di bulan Desember ketika musim hujan. Musim di mana
aku membutuhkan banyak perhatian untuk kesehatanku. Tapi sudahlah, itu
hanyalah masa lalu yang hanya akan menyesakkan dadaku jika dikenang.
Sekarang aku harus mulai membuka diri untuk yang namanya laki-laki dan
bisa mengisi hari-hariku meskipun tidak seseai keinginan hati. Karena
menurut orang tua, usia sepertiku sudah susah mencari pacar. Benarkah?”
Aku tidak akan membiarkan usiaku sampai kepala tiga”. Gumamku.
***
Malam ini malam Jum’at. Hujan deras sekali, ditambah angin kencang yang
mirip dengan badai jika dibayangkan. Bisa saja sewaktu-waktu merobohkan
rumah bahkan menerbangkannya yang rata-rata berdiri di tepi sungai.
Jika saja di dunia ini tidak ada bahan keras seperti kayu sebagai bahan
pembuat rumah yang tentunya maha karya Rabbi, pastilah semua isinya
sudah meleleh disiram air hujan setiap hari. Hah, begitu menyeramkan.
Seperti mau kiamat. Astaghfirullah, malam ini malam Jum’at. Menurut
cerita kiamat akan datang pada hari Jum’at. My God! Celakalah aku, mana
belum merried lagi! Bakal jadi wanita paling rugi di dunia.
Tok…tok…tok! Suara ketukan pintu dari luar kamar membuyarkan
kecemasanku. Kamu sudah tidur sayang? Suara Bapak dari luar. Aku segera
keluar menemui Bapak, pasti ada yang ingin dibicarakan kalau jam segini
(pukul 21.30 WIB) beliau memanggilku.” Ada apa Pak? Aku bermamksud
mencari tahu. “ begini, sebenarnya besok ada undangan penataran guru
Bahasa Indonesia di Provinsi. Pak Rahmat meminta kamu untuk
menggantikannya karena istrinya sedang sakit. Gimana menurutmu? Aku
langsung tertawa mendengar pertanyaan bapak. Ya tentu saja aku sangat
senang karena pertama: aku sudah lama tidak ke kota, mengunjungi tempat
biasa aku berbelanja sewaktu kuliah dulu. Kedua, aku memang senang
pelajaran Bahasa Indonesia. Paling tidak ada tambahan sedikit ilmu
untukku.
“ Pak, kalau soal itu nggak perlu ditanyakan lagi, Myta pasti mau “ Jelasku menenangkan Bapak.
“
Ia, lagian kamu pasti ingin reunian dengan teman-teman kuliahmu di
kota? Kamu bisa mengunjungi kaampusmu, dosen-dosenmu”. Apa maksud Ibu?
Pikirkubertanya-tanya. Ah, sudahla, mungkin Ibu terlalu mengerti
perasaanku.
Pukul 04.00 WIB aku harus bangun dan mandi. Padahal
aku paling alergi mandi subuh. Pasti tubuhku akan menggigil kedinginan
dan masuk angina. Tambah lagi harus menahan udara dingin ketika di speet
boat. Oh…penderitaan yang tiada tara, gumamku. Jika saja Jambi bukan
kota yang menyenangkan dengan budaya ke-Melayuannya niscaya tak akan
kukorbankan badanku hanya untuk berdingin-dingin ria di kendaraan yang
rasanya membekukan aliran darah dan tulang sum-sum.
Tepat pukul 09.00 WIB aku sampai ke kota. Langsung saja aku menuju hotel
yang telah dipesan panitia penataraan. Hari ini sengaja ku manfaatkan
waktu untuk sekedar beristirahat demi menyembuhkan masuk anginku sampai
pukul 17.30 WIB. Setelah itu baru aku berkenalan dengan peserta lain
yang juga baru tiba di hotel. Bola mataku tak berhenti melirik kesana
kemari hanya untuk mencari-cari orang yang barangkali ku kenal.
Aha…benar saja, wanita yang baru tiba itu sepertinya aku kenal. Bukannya
dia guru Bahasa Indonesiaku dulu, sewaktu di SLTA? Aku langsung
menghampirinya. Subhanallah! beliau masih tetap cantik seperti dulu. Aku
langsung mengajaknya satu kamar denganku.
***
Hari ini adalah hari pertama penataran. Seperti acara pelatihan pada
umumnya, panitia memulainya dengan acara pembukaan. Kemudian dilanjutkan
dengan materi pertama. Segera saja ku persiapkan buku dan pena untuk
mencatat hal-hal penting yang akan disampaikan oleh Bapak pemateri
itu. Aku perhatikan beliau. Jika diperhatikan, beliau mirip seseorang
yang pernah aku kenal dekat. Performancenya, benar-benar mirip Pak
Agus, guru idolaku sewaktu di SLTP Tapi ada sedikit yang beda yaitu
kalau Pak Anwar ( nama pemateri itu) selalu memakai dasi di lehernya,
berbeda dengan Pak Agus, beliau selalu tampil rapi dengan
kesederhanaannya. Aku langsung mengangkat tangan ketika moderator
membuka season pertanyaan. Entah pertanyaanku jelek atau bagus, peserta
lain memberi tepuk tangan.
Ternyata dari beberapa
orang penanya, ada satu orang yang sepertinya masih asing dalam
penglihatanku. Aku baru melihatnya detik ini. Masih muda, dan manis.
Dari gaya bicaranya kelihatannya dia pintar. Ferry Hernanda namanya,
dari salah satu SLTA di Provinsi. Begitu data sementara yang aku
peroleh.
Selama dua hari penataran, kelihatannya aku
dan Ferry yang selalu mendominasi kesempatan bertanya. Wah rasanya
gedung penataran milik kami berdua. Oh..bagaimana nasibku setelah ini?
Keluhku dalam hati. Dia terlalu berwibawa untuk ku dekati. Ah tidak
mungkin, aku kan seorang guru, tidak mungkinlah aku agresif seperti
ini. Pikirku “Pertanyaanmu selalu berbobot ya”, puji seseorang ketika
sedang makan siang di hotel. Eh, Pak Ferry,! Aku terkejut ketika
diam-diam Ferry menghampiriku.
“Alumni Universitas mana dulu?”
Dari
UGM alias Universitas gedung Mendalo alias IAIN” Candaku. Kami tertawa
sebisanya. Ya, Mendalo adalah nama daerah letak kampusku dulu.
“Ehm…kalau Bapak alumni dari mana?” Akhirnya ku beranikan juga untuk
bertanya!”. Saya alumni UNAN Padang Fakultas Pendidikan jurusan Bahasa
dan sastra Indonesia” Jawabnya. Dengan nada bangga. Sombong sekali
pikirku, siapa juga yang nanya dari fakultas dan jurusan mana. Gumamku.
Tanpa pamit Ferry meninggalkanku begitu saja ketika Pak anwar
memanggilnya. Baru Pak Anwar yang manggil, gimana kalau Presiden?
Gumamku Ternyata dia tidak sebaik dugaanku semula. Kesimpulanku sekarang
dia laki-laki yang tidak baik dijadikan pacar. Huh…siapa juga yang mau
jadiin aku pacar? Tawaku sendirian.
Pada hari ketiga
penataran, panitia membagi peserta menjadi 10 kelompok. Masing-masing
kelompok harus mengumpulkan kreatifitas anggotanya untuk mengajar bahasa
Indonesia secara menyenangkan. Ah gampang pikirku. Aku kan alumni dari
fakultas pendidikan dan jurusan bahasa juga. Setidaknya aku tidak
kalah dibandingkan dengan guru-guru yang lain.
***
Hah…kenapa
aku sekolompok dengan dia? Lelaki tersombong yang baru saja aku kenal,
gumamku. “Hai, kita ketemu lagi rupanya” sapanya. Ia, panitia baik
banget ya, jadiin kita satu kelompok. Jawabku dengan nada ketus. Ferry
langsung mengambil tempat di sudut ruang penataran dan mengajak peserta
lain menuju ke sana. Aku menurut saja. Anggota kelompok kami memilih
Ferry menjadi ketua dan aku sendiri menjadi sekretaris. Ya Tuhan, mana
mungkin aku kerjasama dengan orang yang sudah ku cap kejelekannya.
“Bu
Myta, anda ketik hasil diskusi kelompok kita ya?” Perintah Ferry. Emang
aku pembantumu. Gumamku dalam hati. Tapi bagaimanapun aku harus
mengerjakan tugas ini karena anggota yang lain mempercayaiku untuk
menjadi sekretaris kelompok. Wah, capek juga ngetik, pikirku. Apalagi
sebenarnya aku tidak lancar ngetik. Mendingan aku disuruh nulis di
kertas. Ya Tuhan, diskusi kelompok sudah hampir selesai, tapi baru
sedikit hasil ketikanku. Sepertinya Ferry memperhatikan kegelisahanku.
Sebelum akhirnya menutup diskusi kelompok.
Sudah selesai Myt? Tanyanya. Aku diam saja karena pastinya Ferry pasti hanya akan mentertawakanku.
“Sini aku Bantu?
“Nggak usah, ini sudah tugasku”
Tiba-tiba kepala pusing dan perutku mual karena menahan lapar sejak tadi. “ “Kamu kelihatannay capek Myt?”
Aku
nggak apa-apa kok Pak! Jelasku. Aku tidak boleh kelihatan lemah di
hadapan Ferry. Sok baik banget sih, gumamku dalam hati. Lebih baik aku
meninggalkannya, pikirku.
Tapi sebelum aku beranjak dari tempat
dudukku, tiba-tiba saja duniaku gelap. Aku tidak sadarkan diri. Dan
ketika bangun, guru-guru sudah berada di sekelilingku. Saya kenapa Bu?
Tanyaku pada Bu Dewi. Bu dewi menjelaskan semuanya, ternyata Ferry yang
membawaku ke puskesmas terdekat. Dia khawatir banget lo dengan
keadaanmu”. Bu dewi menjelaskan. Mereka meninggalkanku ketika Ferry
datang.”Itu akibatnya kalau ngeyel!” Ferry menggodaku. Kamu punya
penyakit mag? Tanyanya. Aku hanya mengiyakan. Makasih ya Pak, atas
semuanya” ucapku. Ternyata Ferry tidak sejelek dugaanku.
***
“ Kamu sering menulis puisi?” Tanyanya mengejutkanku. Dari mana dia
tahu kalau aku sering menulis puisi? Ku tatap matanya, berusaha mencari
tahu.. “Heran ya? Dari mana aku tahu kalau kamu suka menulis puisi? Ni
buku kumpulan puisimu”. Ferry menyodorkan buku berwarna hijau mudaku.
Memang aku sering menulis puisi di buku itu semenjak aku masih duduk di
bangku kuliah. “Bukumu terjatuh ketika kamu pingsan kemarin “. Ferry
akhirnya menjelaskan.” Thanks ya”. Ucapku.” Pernah dikirim ke
penerbitan? Ku rasa puisi-puisimu sangat layak dimuat?
”Hah…kamu hanya menyenangkanku saja”
“Aku berkata jujur, aku punya teman di penerbitan.. dia sering memuat cerpenku.”
Hah…dia penulis cerpen? My God, aku tidak salah kalau ngefans sama dia”
Ya, aku memang sangat ingin tulisanku dimuat” Sebuah ucapan kejujuran dari mulutku pun keluar.
Kita akan menjadi sepasang penulis sekaligus guru yang professional” Ucapnya. “What?Sepasang?” Tanyaku dengan ekspresi heran.
Ia,
aku mengagumimu, sejak pertama kali melihatmu di gedung penataran. “Dan
Aku harap setelah ini kita bisa menyatu dalam nada-nada hidup kita.”.
Ya Tuhan…bahasanya begitu puitis, sepuitis lirik puisi Kahlil Gibran .
Aku tidak menyangka masa penataranku berending dengan harapanku selama
ini. Bagai sebuah mimpi, Desemberku yang selalu hujan dan menyakitkan
dihentikan oleh matahari yang baru saja ku kenal. Ya, matahari jingga
yang baru saja menyentuh hatiku.
source : cerpenmu.com
source : cerpenmu.com
0 Response to "Cerpen - Matahari Bulan Desember"
Post a Comment
Berkomentarlah dengan bijak dan sesuai Topik. Dilarang berkomentar yg menyinggung SARA, kata kotor, pelecehan & semisalnya. Admin berhak tidak menampilkan komentar Anda jika melanggar Peraturan. Terimakasih Banyak, Horas!!!!